BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah
mahluk yang mulia, kemuliaan yang terbentuk tidak lepas adanya interaksi satu
dengan lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial atau masyarakat yang
terbentuk dari kumpulan kelompok-kelompok sosial terkecil, dalam hal ini adalah
keluarga. Keberadaan keluarga sebagai inti dari masyarakat terbentuk dan
diawali dengan adanya suatu ritual yang disebut perkawinan atau pernikahan.
Pernikahan
adalah ikatan suci antara dua insan
melalui akad yang telah di atur oleh agama yang memiliki tujuan untuk menjalin
hubungan bersama seumur hidup sebagai salah satu perintah syariat agar tercipta
hubungan sakinah mawaddah dan rahmah, saling bersinergi di antara pasangan
sehingga dapat diupayakan peningkatan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah,
jasadiyah dan bersosialisasi dengan masyarakat. Pernikahan juga merupakan
sarana preventif terjadinya hubungan
seks bebas yang dapat menimbulkan kekacauan tatanan syariat seperti nasab serta
hak waris pada diri setiap insan. Di samping itu, pernikahan juga merupakan.
Sungguh indah mahligai rumah tangga yang dibangun melalui pernikahan yang sah
dan mampu menggapai sakinah, mawaddah dan rahmah dalam kehidupan
sehari-harinya.
Di salam
syariat Islam, perkawinan dipahami sebagai suatu akad atau perjanjian yang
sangat kuat dan kokoh, dalam Al-Qur’an disebut miś aqan galiz an. Karena merupakan sebuah perjanjian, maka
halal dan haramnya atau sah dan batalnya sesuatu perkawinan dapat dilihat dari
tata cara dan praktek permulaan perkawinannya itu. Perkawinan yang sah menurut
hukum Islam adalah perkawinan yang memenuhi rukun-rukun dan persyaratan
pernikahan, yaitu: adanya dua calon pengantin, wali nikah yang berhak, saksi
minimal dua orang, maskawin atau mahar, dan ijab-qabul.
Dari segi
ibadah, perkawinan merupakan suatu kejadian yang penting dan sakral dalam
kehidupan manusia yang mengandung nilai ibadah. Bahkan, telah disebutkan dengan
tegas oleh Nabi Muhammad SAW. bahwa perkawinan mempunyai nilai kira-kira sama
dengan separuh nilai agama.
Sedangkan dari perspektif sosial, perkawinan telah mengangkat martabat
perempuan sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang karena dari pernikahan
tersebut akan lahirlah anak-anak yang sah.
Mengingat
banyaknya aspek penting yang terkandung dalam perkawinan, maka agama Islam
mengatur secara terperinci tentang pensyariatan perkawinan tersebut. Bahkan
untuk mendukung hal itu, pemerintah juga telah menerbitkan beberapa aturan
terkait perkawinan dan pencatatan perkawinan. Pencatatan dilakukan untuk memberi
kekuatan formal bahwa perkawinan yang dilakukan telah memenuhi hukum agama
Islam dan standar administrasi bagi masyarakat.
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) memberikan
penegasan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah
tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi. Jadi semata-mata
bersifat administratif. Pencatatan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 5 ayat (1), adalah agar dapat menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat. KHI Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditegaskan lebih
lanjut dalam Pasal 6 ayat (2) KHI.
Dalam anjuran
syara’ dan berbagai perangkat aturan formal telah diterbitkan terkait pencatatan perkawinan,
namun masih banyak yang mengenyampingkan pencatatan perkawinan. Mereka hanya
merasa cukup menikah menurut aturan ‘hukum Islam’, tidak perlu dicatat
atau diberitahukan kepada petugas pemerintah.
Makna nikah
sirri dapat dispesifikan dengan pemahaman di antaranya, pernikahan sah secara
agama tetapi tidak dicatatkan di KUA Kecamatan, pernikahan yang dianggap sah
dengan dalih agama namun terkadang tidak memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
diatur oleh agama, pernikahan yang diawasi oleh bukan petugas resmi pemerintah,
pernikahan yang boleh jadi diawasi oleh pejabat pemerintah tetapi tidak
dicatatkan secara resmi di KUA Kecamatan.
Fenomena nikah sirri masih marak dipraktekkan saat ini meskipun telah banyak
dipaparkan tentang dampak negatif atau konsekuensi hukum yang terjadi.
Istilah nikah
sirri tidak dikenal dalam peraturan perundang-undang dan hukum yang berlaku di
Republik Indonesia. Istilah tersebut adalah ‘bahasa’ masyarakat yang
dipergunakan untuk menyebut pernikahan suatu pasangan yang tidak dicatatkan
pada lembaga resmi pemerintah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan bagi yang beragama Islam dan Kantor/Dinas Catatan Sipil bagi yang
beragama selain Islam. Atau dalam bahasa lain, nikah sirri adalah pernikahan
yang dilakukan di ‘bawah tangan’.
Masyarakat
Jakarta yang heterogen dengan budaya, pemahaman dan pola pikir yang berbeda.
Komunitas yang tinggal di wilayah Jakarta mereka yang merupakan penduduk
muslim, non-muslim, penduduk asli, penduduk pendatang bahkan warga negara
asing. Perputaran uang yang begitu besar berputar pada ibu kota negara
Indonesia ini bertumpu pada pariwisata, Perseroan Terbatas, dan sektor
perdagangan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak, jasa
kemasyarakatan sosial perorangan, Industri, properti dan lain-lain sehingga
menjadi daya tarik sendriri bagi wisatawan serta berbagai masyarakat pelosok
negeri untuk datang untuk berbisnis dan mengadu
nasib di kota Jakarta tersebut.
Bisnis jasa praktek pernikah
sirri banyak terjadi di wilayah Jakarta. Sebagai salah satu
destinasi pariwisata dunia yang populer, Jakarta sering dijadikan tempat
yang cukup ‘empuk’ dan ‘surga’ untuk melaksanakan bisnis jasa praktik pernikahan sirri tersebut. Berbagai sarana dan fasilitas yang
telah tersedia mendukung maraknya praktik ilegal tersebut. Lebih-lebih dengan
adanya dunia maya yang tak terbendung serta kemudahan-kemudahan yang di
tawarkan dalam hal sponsorsip suatu tindak layanan jasa perkawinan sirri yang
terorganisir. seperti wedding organizer (WO) yang siap memberikan kemudahan
dalam melaksanakan pernikahan, tentu sangat rawan untuk terjadinya pernikahan
sirri. Apalagi masyarakat yang sangat
heterogen dengan berbagai kepentingan hidup turut mendukung alasan-alasan
mempraktikkan nikah sirri. Bisnis jasa Penikahan sirri yang cukup menjanjikan
oleh masyarakat yang berlatar belakang pengetahuan yang dangkal cenderungan
didasarkan pada aspek kasuistik alasan melakukan bisnis pernikahan sirri. Dalam
bisnis tersebut hanya bermodalkan 2.000.000 s/d 5.000.000 dapat melakukan
pernikahan sirri tanpa sepengetahuan pihak keluarga baik kaum muda, istri
simpanan watau wanita perselingkuhan dengan alasan orang yang menikahkan
tersebut (penghulu illegal) “lebih baik dari pada mereka melakukan
perzinaan”. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan terhadap penerapan hukum nikah sirri menurut
pandangan Islam.
Mernikahan/pernikahan secara sirri adalah suatu bentuk kriminalitas pelecehan
terhadap institusi resmi pernikahan yang telah diformalkan oleh pemerintah.
Bahkan boleh jadi pernikahan sirri juga adalah bentuk kriminalitas yang
mengatasnamakan agama. Serta pelarian atas dasar kepentingan hawa nafsu manusia
untuk memenuhi kebutuhan nafsu
mereka. Oleh karena itu,
perlu adanya kajian yang mendalam terkait praktik pernikahan sirri, khususnya
yang terjadi pada masyarakat Jakarta.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, ada
beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perspektif hukum Islam Indonesia
tentang hukum nikah sirri ?
2. Mengapa praktek bisnis jasa pernikah sirri ini marak terjadi di
masyarakat khususnya di tebet Jakarta selatan ?
3. Faktor apa yang
menyebabkan nikah sirri marak terjadi di masyarakat jakarta ?
4. Sejauh mana peranan pemerintah dalam
menaggulangi fenomena praktek bisnis jasa pernikahan sirri ?
C. Relevansi penelitian
Guna
mengetahui sejauh mana masalah nikah sirri sudah dibahas dalam berbagai
literatur, maka peneliti mencoba menelusuri beberapa pustaka sehingga dari
penelusuran tersebut dapat diketahui apakah masalah tersebut masih up to date
untuk dibahas dalam suatu karya ilmiah yang lain.
Terkait
pernikahan dalam Islam, banyak dijumpai buku-buku yang membahas tentang
konsep-konsep pernikahan, baik yang disusun oleh perseorangan maupun
lembaga-lembaga bahkan instansi pemerintah. Beberapa majalah dan bulletin
terkait pernikahan dan keluarga pun dapat dengan mudah dijumpai.
Kajian yang
cukup kasuistik terkait nikah sirri banyak ditemukan pada karya ilmiah
tingkatan kesarjanaan S1, seperti hasil skripsi mahasiswa. Sebut saja karya
ilmiah Pujiyati, “Aspek Hukum Nikah Sirri.” Dalam skripsi tersebut penulisnya
hanya membahas tentang aspek hukum nikah sirri saja dan hanya terpaku pada sah
atau tidaknya nikah sirri.
Farhatul Aini
juga menulis karya terkait nikah sirri dengan mengambil judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Nikah Sirri dan Dampaknya Pada Masyarakat di Desa Pakong
Kabupaten Pamekasan.” Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor penyebab nikah
sirri yang terjadi pada suatu lokasi dan pandangan hukum Islam secara umum
terhadap praktik pernikahan tersebut.
Ni’matuzzahroh,
“Fenomena nikah sirri masyarakat kuta (perspektif sosiologi hukum keluarga
islam) pembahasan pada skripsi ini hanya terkait tentang aspek sosiologi yang
memudahkan seseorang melakukan tindakan pernikahan sirri yang semakin marak dan
mudah untuk melakukan hal tersebut serta bagaimana pandangan keluarga Islam
pada pernikahan sirri yang terjadi di masyarakat jakarta.
Berdasarkan
penelusuran yang telah penyusun lakukan, maka belum ada kajian terkait
pernikahan sirri yang secara khusus dilakukan dengan pendekatan praktik bisnis jasa pernikahan sirri tersebut. Selain itu, juga tidak ditemukan
karya tulis yang khusus meneliti tentang pandangan upaya penghalalan pada
praktik bisnis jasa nikah sirri yang dapat membeli penghulu, wali, serta saksi
yang terjadi pada masyarakat Jakarta. Oleh karena itu, peneliti merasa penting
dan perlu untuk mengangkat praktek bisnis jasa nikah siri, studi empiris Di
Tinjau Dari Hukum Islam dengan mengambil lokasi penelitian pada masyarakat
Jakarta - kelurahan manggarai selatan kecamatan tebet jakarta selatan.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini
bertujuan untuk:
1. Menjelaskan kecendrungan bisnis Jasa pernikahan sirri yang terjadi pada masyarakat Jakarta
2. Mendeskripsikan tinjauan hukum Islam dan hukum positif indonesia terhadap prosesi pernikahan sirri masyarakat Jakarta.
3. Menjelaskan kedudukan wali nikah, saksi nikah
serta pihak yang terkait menurut perspektif hukum Islam.
Sedang
hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan:
1. Dapat memetakan fenomena bisnis jasa
pernikahan sirri yang terjadi di kalangan masyarakat untuk selanjutnya
diberikan solusi yang tepat dan benar guna pengembangan kehidupan berkeluarga
masyarakat.
2. Berdasarkan informasi empiris yang
diperoleh dalam penelitian, kajian ilmiah ini dapat dipergunakan menjadi
pedoman dan bahan koreksi terhadap praktik bisnis jasa pernikahan sirri yang
selama ini berkembang pada masyarakat.
3. Pemahaman dinamika sosiologis terhadap
ajaran hukum pernikahan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pihak-pihak
terkait untuk memberikan penyuluhan hukum yang komprehensif sekaligus bahan
penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam di kemudian hari.
4. Mampu memberikan sumbangan bagi
pengembangan khasanah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan praktek bisnis jasa nikah sirri yang berkembang pada
masyarakat.
E. Kerangka Teoritik
Perkawinan
adalah suatu yang agung dan suci dalam kehidupan manusia. Begitu pula
Negara yang berdasarkan Pancasila ini menganggap bahwa perkawinan itu suci,
sehingga negara membuat undang-undang yang mengatur perkawinan dan
pencatatannya. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan”. Dan pencatatan perkawinan juga diatur dalam Keputusan
Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. Islam telah
mengatur masalah perkawinan ini secara gamblang dan teliti. Hal itu dimaksudkan
agar kesucian dan keagungan itu selalu terjaga.
Menurut
lembaga yang bergerak di bidang peranan wanita, Mitra Sejati Perempuan
Indonesia (MiSPl):
"Secara Hukum Positif, nikah siri
tidak lengkapnya suatu perbuatan hukum karena tidak tercatat secara resmi dalam
catatan resmi pemerintah. Demikian juga anak yang lahir dari pernikahan siri
ini, dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh Negara melalui akte kelahiran.”
Dalam istilah
usul fiqh, kebijakan ini disebut dengan mashlahah mursalah, yakni suatu
ketentuan yang tidak diatur dalam agama (fiqh) tetapi tidak bertentangan dengan
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Artinya, kewajiban mencatatkan
perkawinan di KUA tidak pernah diatur dalam fiqh, namun semangat dari aturan itu
tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan diwajibkannya saksi ke dalam rukun
nikah.
Dalam
Al-Qur’an telah cukup banyak penjelasan tentang pensyariatan perkawinan dan
salah satunya perihal perintah menyiarkan perkawinan. Pemberitahuan kepada
khalayak umum itu dimaksudkan agar tidak terdapat fitnah di kemudian hari
setelah perkawinan dilangsungkan, apalagi perkawinan yang dilaksanakan adalah
pernikahan yang sah. Firman Allah SWT:
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ
عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
إِلاَّ أَن تَقُولُوا-
قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُوا
عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ
يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ
حَلِيمُ
Dalam
hadis nabi telah diperintahkan untuk mengkhabarkan pernikahan kepada khalayak,
yaitu:
اعلنوا هذا النكاح واجعلو ف المساجد
واضربوا عليه باالفوف.
Namun
salah satu praktik sosial yang dianggap ”legal” oleh masyarakat muslim
Indonesia tetapi sejatinya merugikan salah satu pihak adalah bisnis praktik
jasa nikah sirri. Walau juga menggunakan istilah “pernikahan”, banyak hal yang
perlu dipertanyakan terkait eksistensi dan substansi bisnis jasa praktik
pernikahan sirri tersebut terutama terkait keabsahannya secar islam. Boleh jadi jasa praktik pernikahan seperti itu juga akan mengundang
problem dan fitnah di kemudian hari sehingga nilai tarbiyah atau tujuan ibadah
suci tersebut tidak akan tercapai.
Prof.
Dr. Dadang Hawari mengatakan nikah sirri merupakan upaya mengakali pernikahan
dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu
manusia. Melalui jasa Pernikahan siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya
legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih.
Perkawinan orang Indonesia yang beragama Islam sudah diatur dalam UU Perkawinan
No 1 tahun 1974 yang di dalamnya bukan hanya mengatur aturan Negara, tapi juga
mencakup syariat Islam. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
perkawinan tersebut harus tercatat sesuai perundang-undangan yang berlaku, atau
bagi umat Islam tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga resmi tercatat
dan mendapatkan surat nikah. Karena itu, dengan tegas Dadang menyatakan bahwa
pernikahan apapun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak
sah. Nikah siri tidak sah karena tidak tercatat secara resmi.
KH
Tochri Tohir juga berpendapat adanya upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi
memuaskan hawa nafsu. pernikahan siri yang semacam itu, tetap sah secara agama,
namun praktik jasa pernikahannya di pertanyakan mengingat jalanya proses yang
sebegitu mudah di lakukan dengan mengedepankan kekuatan uang. Karena itu,
resiko pernikahan seperti itu juga besar. Bagi masyarakat biasa, resikonya
adalah terguncangnya mahligai rumah tangga, namun juga mereka beresiko
dipermalukan dan mendapat aib di masyarakat.
Oleh
karenanya, mereka sepakat berpendapat kalau praktik jasa pernikahan tersebut perlu
ditinjau lebih mendalam dari praktik masyarakat yang konon telah banyak
menjamur di masyarakat. Bukan saja nilai keabsahannya yang perlu ditinjau
ulang, tetapi hal itu dilakukan agar nilai sebuah perkawinan akan benar-benar
suci di kalangan masyarakat; memiliki nilai ibadah dan juga tarbiyah sehingga
akan terbentuk masyarakat yang Islami dunia dan akhirat.
praktek
bisnis jasa nikah siri, studi empiris Di Tinjau Dari Hukum Islam berkembang
atas dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem
sosial yang dinamakan masyarakat, yang berarti hukum hanya dapat dimengerti
dengan jalan memahami sistem sosial terlabih dahulu dan bahwa hukum merupakan
proses.
Suatu
teori tentang hukum dan perubahan sosial menurut Max Weber bahwa perubahan-perubahan
hukum sesuai dengan perubahan yang terjadi pada sistem sosial pada masyarakat
yang mendukung sistem hukum yang bersangkutan.
Nikah
sirri sebagai fakta sosial yang timbul dalam perubahan sosial modern. Dalam
sistem hukum kemudian muncul sebutan dualisme hukum memberikan gambaran tentang
kontradiksi-kontradiksi antara hukum dalam teori dengan hukum dalam praktek.
Perilaku nikah sirri dimasukkan dalam suatu teori perilaku kolektif mencoba
menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala
aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu
yang panjang.
F. Metodologi Penelitian
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi
ini digunakan beberapa metode penelitian sebagai berikut:
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian ini merupakan riset lapangan (field research) yang menggunakan
pola pikir kualitatif interaktif dengan menekankan pada studi fenomenologis:
berusaha mencari makna esensial, konsep, pendapat dan praktik yang berkembang
pada masyarakat Jakarta mengenai prosesi/jasa
pernikahan sirri.
2.
Sifat
Penelitian
Kajian dalam penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu penelitian
yang bertujuan untuk menggambarkan praktek bisnis jasa nikah sirri pada masyarakat Jakarta kemudian merumuskan masalahnya secara
terperinci dan dilanjutkan dengan analisis terhadap perkara tersebut.
3.
Pendekatan
Penelitian Dari sasaran atau obyek penelitian tersebut maka dapat dipahami
bahwa penelitian yang dilakukan merupakan penelitian penerapan hukum islam yang
relevan: studi hukum dan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh suatu kebutuhan
bahwa hukum lebih dipandang dapat menjalankan fungsinya sebagai “rekayasa
sosial”.
Dalam hal ini, peneliti mencoba melakukan eksplorasi pola interaksi antara
hukum dengan dinamika sosial yang terjadi serta tingkat kesadaran hukum
masyarakat terhadap pelaksanaan ajaran Islam tentang pernikahan.
4.
Metode
Pengumpulan Data
a.
Observasi,
dengan terjun ke lokasi penelitian untuk melihat kondisi riil subyek penelitian
b.
Dokumentasi
yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen, buku, kitab,
makalah, bulletin serta peraturan-peraturan dan sumber lain. Dokumentasi
peneliti gunakan dengan menelusuri dan mempelajari dokumen-dokumen kearsipan
yang berkaitan dengan nikah sirri yang terjadi pada masyarakat Jakarta serta
telaah terhadap barbagai buku, kitab dan tulisan yang brekaitan dengan obyek
penelitian.
c.
Wawancara
(interview) merupakan salah satu metode pengumpulan data yang dilakukan
langsung berhadapan dengan nara sumber dengan memberikan daftar pertanyaan
untuk dijawab (interview guided). Wawancara peneliti lakukan langsung dengan
pegawai KUA Kecamatan Jakarta serta beberapa pelaku nikah sirri. Diharapkan
banyak informasi undocumented dapat diperoleh secara langsung dari sumber
informasi melalui kegiatan wawancara ini.
5.
Analisis
Data
Metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif
verstehen (pemahaman empatis), suatu cara untuk memperoleh pengertian
interpretatif terhadap pemahaman manusia.
Dengan cara ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh ‘understanding’
terhadap berbagai proses yang menjadi sasaran penelitian dan mengeksplorasi
bagaimana proses-proses itu mengalir dalam konteksnya. Eksplorasi deskriptif
kualitatif tersebut tidak saja diharapkan dapat membuka tabir pemahaman
masyarakat terhadap fenomena hukum dan aspek ajaran Islam tentang pernikahan
sirri, tetapi pada gilirannya diharapkan dapat berakhir dengan temuan-temuan
penelitian sebagai evaluasi terhadap riset-riset sebelumnya.
Sedang teknik analisis deskriptif yang
dilakukan merupakan perpaduan antara instrumen analisis induktif dan deduktif.
Analisis induktif dipergunakan untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang
khusus menjadi sebuah generalisasi berdasar data yang diperoleh. Sedangkan
instrumen deduktif dipergunakan untuk mengaplikasikan sebuah teori yang
bersifat umum (general teoritik) kepada hal-hal yang lebih
khusus, yaitu pemahaman dan praktik pernikahan sirri yang berkembang pada
masyarakat Jakarta
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika yang dimaksud adalah
susunan yang dilakukan untuk mempermudah dalam mengarahkan penulisan agar tidak
mengarah pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan masalah yang hendak
diteliti. Metode ini penyusun gunakan untuk mempermudah dalam memahami maksud
penyusunan penulisan skripsi. Secara umum sistematika pembahasan tersebut
sebagai berikut:
Bab
pertama, merupakan
pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan
kegunaan penalitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan. Bagian ini merupakan pengantar materi untuk dibahas
lebih lanjut pada bab lain. Tanpa keberadaan bagian ini maka tidak bisa
melakukan penelitian lebih lanjut.
Bab kedua, merupakan gambaran umum tentang nikah
sirri. Kajian ini diletakkan pada bab kedua untuk memandu pembahasan dalam
skripsi ini yang berkaitan dengan nikah sirri tersebut. Bab ini dibagi menjadi
beberapa sub bab diantaranya: pertama, Islam dan pernikahan sirri. Kedua, nikah
sirri dalam perspektif hukum Islam; Ketiga, macam-macam nikah sirri.
Bab ketiga, mendiskripsikan gambaran umum wilayah
penelitian, potret masyarakat pelaku nikah sirri dan faktor dilakukannya nikah
sirri tersebut. Bagian ini disusun untuk memberikan penegasan tentang obyek
penelitian sehingga dapat dihindari pembahasan yang melebar atau menyimpang
dari tujuan penelitian.
Bab
keempat, memuat hasil
penelitian terkait fenomena dan kecenderungan masyarakat Jakarta terhadap
praktik bisnis jasa nikah sirri, serta pembahasan
terhadap hasil penelitian tersebut. Untuk mempertajam pembahasan, peneliti
menggunakan pendekatan relevansi hukum Islam untuk menganalisis hasil penelitian.
Bab kelima, penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran atau rekomendasi. Penyusunan skripsi ini terdiri dari kesimpulan dengan
pemaparan data yang diperoleh dana analisis yang dilakukan serta saran berupa
bahan pikiran dari penyusun, semoga dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
bersangJakartan.
H. Outline
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
HALAMAN MOTTO
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pokok Masalah
1.
Identifikasi masalah
2.
Pembahasan masalah
3.
Rumusan masalah
C.
Relevansi penelitian
D.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
E.
Kerangka
Teoritik
F.
Metodeologi Penelitian
G.
Sistematika Pembahasan
H.
Out line
I.
Daftar pustaka
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan
B. Pengertian Nikah sirri
1) Nikah Sirri Menurut Hukum Islam
2) Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974
D. Macam Nikah Sirri
BAB III PRAKTEK
BISNIS JASA PERNIKAHAN SIRRI MASYARAKAT JAKARTA
A.
Kondisi Geografis Obyek Wilayah
Penelitian
B.
Potret Penyelenggara Penyedia Jasa Pernikah Sirri Kec. Manggarai
selatan tebet Jakarta selatan
C.
Faktor Munculnya Praktik Jasa
Nikah Sirri
D.
Dampak Positif Dan Negatif
Pernikah Siri
BAB IV ANALISIS TERHADAP FENOMENA BISNIS JASA NIKAH
SIRRI MASYARAKAT JAKARTA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
A.
Fenomena Praktik Jasa Nikah
Sirri Masyarakat Jakarta
B.
Perspektif Hukum Islam dalam
Memahami Praktik Jasa pernikahan Sirri
Masyarakat Jakarta
C.
Perspektif HukumPositif di
indonesia
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran / Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A.
Daftar Terjemah
B.
Daftar Pertanyaan Wawancara
C.
Surat Izin Penelitian
D.
Hasil Pemantauan Nikah Sirri
E.
Klasifikasi Hasil Pantauan
Dalam Prosentase
F.
Curriculum Vitae
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Dasar Hukum
Nikah
1.
Pengertian Hukum
Secara etimologis kata “hukum” berasal dari
bahasa Arab yang berarti “memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”.
Kata “hukum” dan kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam 88
tempat dalam Al- Qur’an, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti
tersebut. kata hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitive
kepada kata “hukum” itu terdapat beda rumusan yang begitu luas, termasuk dalam
konteks siapa pembuat hukum itu, apakah pembuat hukum (syar’i)nya Allah SWT,
ataukah sekelompok manusia yang disepakati seperti DPR dan lainnya. Meskipun
demikian dalam arti yang sederhana bahwa dalam konteks si pembuat hukum sekelompok
manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah : “Seperangkat peraturan
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara
atau
kelompok masyarakat, berlaku
dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”
Sedang dalam konteks
pembuat hukumnya (syar’i)
Allah, maka hukum itu
adalah :
Artinya: “Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukalaf, yang
mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya (suatu hukum) karena adanya yang lain.”
2.
Pengertian Hukum Islam
Istilah
“hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia
bagaikan terjemahan Al-Fiqh Al-Islamy
atau dalam konteks
tertentu dari Al-Syari’ah Al-Islamiyah. Istilah ini
dalam wacana ahli hukum barat digunakan nama
Islamic
Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al’Sunah, istilah
hukum Al-Islam tidak
dijumpai. Yang digunakan adalah syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai
pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah dan fiqh.
A.
Pengertian syari’ah
Secara
etimologis syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau “tempat lalu air sungai”.
menurut para ahli defenisi syari’ah adalah: segala titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlak. Dengan demikian “syari’ah itu adalah nama bagi hukum- hukum yang bersifat amaliah”.
Walaupun
pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama”
sebagaimana yang disinggung dalam surah al-Syura: 13 diatas, namun kemudian dikhususkan penggunanya untuk
hukum amaliah. Pengkhususan ini
dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal, sedangkan syari’ah berlaku
untuk masing-masing umat yang berbeda dengan
umat sebelumnya. Dengan
demikian syari’ah lebih
khusus dari agama.
B.
pengertian fiqh
kata
“Fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam.” Bila “paham” dapat
digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti faham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin,
karena itulah Al-Tarmizi menyebutkan, “Fiqh
tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamannya.
Secara
defenitif, fiqh berarti “Ilmu tentang
hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan
ditentukan dalil-dalil yang tafsili.
Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa, syari’ahlah adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku
manusia diluar yang mengenai akhlaq.
Dengan kata lain syari’ah itu adalah nama bagi hukum- hukum yang bersifat amaliah.
Sedangkan fiqih ialah ilmu tentang hukum-
hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali ditemukan dalil-dalil yang tafsili.
Untuk
lebih memperjelas dapat kita angkat beberapa pokok perbedaan antara
syari’at dengan fiqih, yakni:
a.
Syari’at berpendapat dalam
al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita
berbicara tentang syari’at yang dimaksud adalh Firman Allah atau Sunnah rasul. Fiqih terdapat dalam
kitab-kitab fiqh, kalau berbicara tentang fiqih,
maka yang dimaksud adalah pemahaman manusia, dalam hal ini adalah ahli hukum Islam (Mujtahid) yang
memenuhi syarat-syarat berijtihad.
b.
Syari’at bersifat fundamental,
mempunyai ruang lingkup lebih luas dari fiqh. Sedangkan fiqh bersifat instrumental,
lingkupnya terbatas pada apa yang
biasanya disebut perbuatan hukum.
c.
Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan Rasulnya, karena itu berlaku
abadi. Sedangkan fiqh adalah karya manusia
yang dapat berubah
dari masa ke masa atau sesuai zamannya.
d.
Syari’at hanya satu, dan fiqh beragam
(lebih dari satu), sesuai jumlah aliran hukum yang disebut mazhab.
e.
Syari’at menunjukkan kesatuan
dalam islam. Sedangkan fiqh menunjukkan
keragamannya, sesuai dengan jumlah aliran-aliran hukum atau mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam.
Dari
penjelasan di atas, menggambarkan kepada
kita bahwa syari’at dan
fiqh hubungannya sangat erat sekali, bias dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan, karena fiqh adalah hasil
dari pemahaman dari syari’at, sedangkan
syari’at adalah landasan
pemahaman fiqh. Dan untuk memahaminya harus melalui ilmu fiqh.
Kalau ibarat hukum islam yang kategori syari’at disebutkan Islamic law, sedangkan
kategori fiqh disebut
Islamic of yurisprudence. Tetapi di Indonesia namanya hanya satu yakni
hukum islam. Tidak ada istilah Indonesia
yang membedakannya.
Istilah “ahkam” bentuk jamak dari
“hukum”. Adapun arti “al-hukmu”
adalah: menetapkan suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketetapan.
Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurut
Syari’at Islam perbuatan manusia dapat dihukumkan kepada
ketetapan yang lima (ahkamul khamsah).
Menurut imam syafi’I
susunan kaidah buruk baik itu ada lima,
yaitu yang terkenal dengan
istilah “al-khamsah” (lima golongan hukum).
Seluruh perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam satu golongan hukum
yang lima tersebut dan hukum itu adalah:
1. fardh (diharuskan) atau wajib (mesti
dikerjakan, ia mendapatkan pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan
hukuman. Contoh, shalat 5 kali dalam
sehari, puasa di bulan ramadhan dan sebagainya.
2. sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan) dengan ketentuan kalau
perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala;
sebaliknya jika tidak dikerjakan tidak
berdosa. Contoh shalat
hari raya, member sedekah dan sebagainya.
3. Mubah ja’iz, yaitu
sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan tidak
berpahala dan tidak berdosa, kalau dikerjakanpun
tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh, melakukan gerak badan di pagi hari.
4. makruh (tercela) dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan mendapat pujian, sebaliknya
jika dilanggar hanya dicela tidak sampai
dihukum. Contoh masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam.
5. haram, yaitu larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan kita berdosa atau dikenakan hukuman dan
jika ditinggalkan kita mendapat
pahala. Contoh mencuri, menipu dan sebagainya.
3.
Pengertian Nikah
Nikah
ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan istri) menikmati pihak
satunya, pernikahan sangat
penting dalam kehidupan manusia, karena hanyan dengan
pernikahan pergaulan hidup manusia baik
secara individu maupun kelompok menjadi terhormat dan halal. Hal ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk tuhan yang lain. Dengan melaksanakan pernikahan, manusia diharapkan dapat memperoleh keturunan yang
dapat melanjutkan kehidupan berikutnya.
Pernikahan
atau perkawinan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan,
untuk memenuhi naluri hidup umat manusia, juga untuk melangsungkan kehidupan dengan jenisnya, mewujudkan ketentraman
hidup, dan menumbuhkan serta
memupukkan rasa kasih sayang dalam hidup
bermasyarakat. Perkawinan dapat saja berlangsung tanpa adanya kebutuhan biologis semata, kemungkinan
hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan, dilakukan tanpa berhubungan suami isteri. Hal ini biasa terjadi
karena kekuatan untuk melakukan hubungan badan tidak selalu ada pada seseorang dan tidak merupakan syarat
untuk bersama. Ini terbukti dan
kenyataan bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang sudah lanjut usia, bahkan
diperbolehkan pula suatu perkawinan “ In extreme” yaitu pada waktu salah satu
pihak sudah hampir meninggal dunia.
Nikah
(kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian
yang menjadikan halal hubungan
seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.
Menurut Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, “perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
diatur syari’at”. Menurut
Sayuti Thalib, SH Berpendapat “Perkawinan itu
ialah perjanijan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan perempuan”. M. Idris
Ramulyo, SH, berpendapat “Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yabg kuat
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang
laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal. Wirjono
Projodikoro, SH, berpendapat bahwa hidup
bersama sangat penting dalam masyarakat dan mempunyai akibat yang penting pula. Oleh karena itu
diperlukan suatu peraturan untuk hidup bersama
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan
tersebut.
Prof.
Subekti, SH juga menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Kitab Undang-undang hukum perdata sendiri tidak memberikan definisi secara jelas
tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26
kitab Undang-undang Hukum
Perdata disebutkan bahwa
Undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini
berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat
serta peraturan agama dikesampingkan. Sedangkan
menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam
agama Islam disebut “Nikah” yaitu melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara yang diridhoi Allah SWT.
Para ulama berbeda pendapat dalam
merumuskan perkawinan (pernikahan) secara istilah. Ulama klasik lebih
berorientasi kepada kehalalan hubungan seksual. Sebagai contoh, ulama
Hanafiyah mendefinisikan nikah dengan:
عقد وُضع
لتملّك المـتـعة بالانثى قصدا
“Akad yang memfaedahkan hak memiliki bersedap-sedap
terhadap seorang wanita dengan sengaja”.
Dimaksud dengan hak memiliki bersedap-sedap ialah
tertentunya suami memanfaatkan seks isteri beserta bagian badannya
sebagai alat bersenang-senang. Dimaksudkan dengan memiliki ialah kehalalan
bersenang-senang, bukan memiliki sebagai milik kebendaan.
Ulama Syafi’iyah merumuskan nikah dengan:
عقد يتضمّن اِباحةَ وطءٍ
بلفظ انكاحٍ أو تزوّج أو ترجمته
“Akad yang mengandung kebolehan hubungan seksual dengan
ucapan nikah atau tazwija atau terjemahannya” .
Menurut definisi ini akad nikah mengakibatkan kebolehan
wata’, tidak memiliki wanita yang dinikahi.
Al-Jaziri dalam kitabnya Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib
al-Arba’ah, IV: 2, mendefinisikan dengan:
عقد وضعه الشارع ليرتب عليه
انتفاع الزوج ببضع الزوجة وسائر بدنها من حيث التلذذ
“Suatu akad yang ditetapkan syara’ agar dengan akad itu
menjadi (berakibat) suami berhak mengambil manfaat kemaluan isterinya dan
seluruh badannya untuk bersenang-senang”
Definisi di atas kesemuanya menitik
beratkan kepada badan isteri sebagai obyek akad dan hanya meninjau dari hak dan
kepentingan suami terhadap isterinya, tidak mengemukakan akibat akad itu yang
berupa hak dan kewajiban yang timbal balik antara keduanya serta tujuan
perkawinan.
Bandingkan dengan definisi di bawah ini :
Dr. Mustafa as-Siba’iy dalam karyanya al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah, hlm. 32-33 merumuskan pernikahan dengan:
عقد بين رجل وامرأة
احلّ له شرعا غايته انشاء رابطة للحياة المشتركة والنسل
“Suatu akad antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang dihalakan menurut syara’ yang bertujuan menumbuhkan ikatan untuk
hidup bersama dan berketurunan”.
Dalam definisi ini ditegaskan bahwa akad nikah itu
adalah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (dalam definisi yang
dikemukkan fuqaha sebelumnya tidak tegas siapa yang mengadakan akad).
Sekalipun tidak dijelaskan mengenai akibat dari akad perkawinan yang berupa hak
dan kewaiban, tetapi dalam defini ini sudah ada kemajuan dengan disebutkan
tujuan dari adanya akad yaitu hidup bersama dan berketurunan.
Menurut Muhammad Abu Ishrah pernikahan yaitu:
عقد يفيد حلّ العشرة بين
الرجل والمرأة وتعاونهما ويُـحَدُّ مالكليهما من حقوق وما عليه من واجبات
“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan bergaul
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan mengadakan tolong
menolong dan membatasi (menentukan) hak bagi pemiliknya serta pemenuhan
kewajiban bagi masing-masingnya”.
Dalam definisi ini dijelaskan bahwa perkawinan itu
selain mengakibatkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan yang
dilandasi prinsip tolong menolong juga mengakibatkan adanya hak dan kewajiban
bagi kedua belah pihak.
Dari beberapa rumusan di atas sekalipun secara
redaksional berbeda, tetapi ada yang disepakati, yaitu bahwa perkawinan itu
merupakan suatu akad, suatu ikatan.
Lebih lanjut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
dalam Pasal 1, perkawinan dirumuskan dengan “ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari rumusan perkawinan di atas dapat digaris bawahi
bahwa perkawinan itu sebuah perikatan, tetapi tidak sekedar perikatan
melainkan ikatan lahir dan batin dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia, sejahtera, tentram. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat
ar-Rum (30) ayat 21.
Dari beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa nikah adalah akad antara pria dan wanita
yang diikat melalui
suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh
untuk salin memiliki
dan bersenang-senang dan
menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga atau rumah tangga, dengan
menggunakan kata-kata menikahkan atau dengan
kata lain yang semakna dengan kata tersebut.
Dengan melakukan perkawinan, seseorang muslim
berarti telah mengikuti dan
menghormati sunnah Rasul-nya, dan dengan perkawinan pula maka membuat terang keturunan, sehingga tidak aka nada
orang-orang yang tidak jelas
asal usulnya. Di
samping itu perkawinan
diharapkan dapat
melahirkan rasa kasih sayang sesame anggota keluarga dan menjauhkan perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Islam memandang perkawinan sebagai fase pertama
keluarga, karena keluarga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan sesama jenisnya untuk melakukan kebaikan dan melarang kemunkaran, meninggikan
derajat manusia dan mewujudkan fungsi
manusia sebagai khalifah
dimuka bumi berdasarkan Ayat-ayat al- Quran :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Al- Ruum (30): 21
1. Dasar-dasar Hukum Nikah
Dalil-dalil
yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah:
a. Surat An-Nisa ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap
(hak hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka
(kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”. QS. An-Nisa (3): 3
b. Surat An-Nur Ayat 32
وَ أَنْكِحُوا الْأَيامى مِنْكُمْ وَ
الصَّالِحينَ مِنْ عِبادِكُمْ وَ إِمائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَراءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَ اللهُ واسِعٌ
عَليمٌ
Artinya
:“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui”.
QS. An-Nuur (24): 32
c. Hadist dari‘Alqomah
Artinya
:“Hai
pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng
mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
menundukkan pandangan mata terhadap
orang yang tidak halal dilihatnya dan akan
memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap
perempuan akan berkurang”. (H.R. Al- Bukhari).
Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan
di sini antara lain :
1)
Nikah merupakan suatu perintah agama.
2)
Nikah dihukumkan wajib bagi
orang yang mampu lahir bathin.
3)
Nikah untuk menjaga dirinya
dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.
B. Pengertian Nikah Sirri
Nikah
sirri berasal dari kata sirriyyun yang
berarti secara rahasia atau secara
sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilakukan
semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum
negara yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam
prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang
Islam di Indonesia,
yang memenuhi baik rukun-
rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah
seperti yang diatur
dan ditentukan oleh Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Menurut
A. Zuhdi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala
KUA), karenanya pernikahan itu tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.
H.
masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri adalah nikah yang hanya dilangsungkan
menurut ketentuan syari’at islam saja
namun karena terbentur PP no. 10 / 1983 (tentang
izin perkawinan dan perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil) jo. PP No. 45 / 1990, pernikahan tersebut dilakukan
secara diam-diam, dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman
disiplin.
Dilihat dari kata-katanya, sirri itu berarti
sembunyi-sembunyi atau tidak terbuka. Jadi nikah sirri bisa
bararti nikah sesuai dengan ketentuan Agama, tetapi
tidak dicatat didalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA dan lain-lain) , atau nikah sesuai dengan ketentuan
agama islam dan dicatat oleh pencatat nikah,
tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.
C. Tinjauan Hukum Islam
Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri
1.
Nikah Sirri
Menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam Nikah Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab Al- Muwatha karya Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri
berasal dari ucapan Umar Ibnu al- Khattab r.a
:
Artinya
:“Bahwasanya Umar dihadapkan
kepadanya seorang laki-laki yang
menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata : ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, seandainya kamu
melakukannya pasti aku rajam”
Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut
adalah bahwa syarat jumlah saksi belum
terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap
meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria Umar dapat dipandang sebagai
nikah sirri.
Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat
ditarik suatu pengertian bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan
kedudukan saksi dan syarat-
syarat pada saksi itu sendiri.
Mengenai saksi ini Para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I
dan Maliki) telah sepakat
bahwa saksi merupakan
syarat dalam pernikahan, bahkan Syafi’I
berpendapat bahwa saksi sebagai rukun
nikah, dan tidak
sah pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil :
Artinya
:“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan
wali yang cukup”.
Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri
saksi-saksi
tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun
diumumkan kepada orang ramai dengan
cara lain, pernikahannya tidak sah.
Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang
menjadi saksi adalah : berakal sehat, dewasa, dan mendengar omongan
kedua belah pihak yang berakad, serta memahami bahwa
ucapan-ucapannya itu maksudnya adalah
ijab qabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah merekabisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul
suara tersebut adalah suaranya kedua
orang yang berakad.
Jika yang menjadi
saksi itu anak-anak, atau orang gila, atau orang yang sedang mabuk, maka nikahnya tidak sah, sebab
mereka dipandang tidak
ada.
Ibnu Qudamah membedakan antara saksi dan pengumuman. Menurutnya saksi termasuk
rukun nikah yang harus ada (wajib) ketika
melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah hal lain diluar akad nikah, yang hukumnya hanya sunah.
Fungsi saksi dalam pernikahan oleh Ibnu qadamah
disebut lebih rinci, yakni ada dua : pertama ; untuk menghindari adanya tuduhan zina, dan kedua ;
untuk menghindari adanya fitnah, sebab dengan adanya saksi akan menyebarluaskan berita
tentang sudah terjadinya pernikahan antar pasangan.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah
sirri (rahasia) tidak boleh. Kemudian
mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua
orang saksi dan keduanya diamanati untuk merasahasiakan pernikahan, apakah hal ini
dianggap nikah sirri atau tidak?
Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa
hal itu bukan nikah sirri. Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian
itu adalah nikah sirri dan dibatalkan.
Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan
saksi dalam pernikahan merupakan
hukum syara’ , ataukah dengan saksi itu dimaksudkan
untuk menutup jalan perselisihan dan pengingakaran?
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan
hukum syara’, maka mereka mengatakan
bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan pernikahan,
maka mereka menganggap saksi sebagai
syarat kelengkapan.
Jumhur ulama mengatakan jika para saksi dipesan oleh
pihak yang mengadakan aqad nikah agar
merahasiakan dan tidak memberitahukannya
kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah, namun Imam Malik memandang pernikahan tersebut batal.
Alasan yang digunakan Jumhur
Ulama adalah
:
a.
Dari Ibnu
Abbas, Rasulullah bersabda :
“Pelacur yaitu
perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya tanpa saksi”.
b.
Dari Aisyah, Rasulullah bersabda :
“A’isyah r.a meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi
yang adil”.
c.
Dari Abu Zubair Al- Makkiy,
Umar bin Khattab menerima pengaduan adanya pernikahan yang disaksikan oleh
seorang laki-laki dan seorang
perempuan, lalu jawabnya : ini kawin gelap, dan aku tidak membenarkannya, dan andaikan saat itu aku hadir tentu akan kurajam.
(HR. Malik, dalam kitab Al- Muwatha).
Imam
Malik, Ibnu Abi Laila dan Al- Batta
menyatakan bahwa saksi dalam pernikahan tidak wajib,
baginya fungsi saksi adalah untuk
mengumumkan, yaitu cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Menurut golongan ini, jika waktu ijab qabul
tidak dihadiri para saksi, tetapi sebelum mereka bercampur sebagai
suami istri kemudian dipersaksikan maka
pernikahannya tidak batal (sah). Akan tetapi jika suami istri sudah bercampur tetapi belum dipersaksikan maka
pernikahannya batal, meskipun pada waktu
ijab qabul dihadiri oleh para saksi.
Alasan golongan yaitu bahwa jual beli
yang didalamnya disebut soal
mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an, yakni surat Al- Baqarah : 282, bukan
merupakan syarat yang wajib
dipenuhi dalam jual beli. Sedangkan soal pernikahan Allah tidak menyebut dalam Al- Qur’an adanya
syarat mempersaksikan. Karena itu
tentulah lebih baik jika dalam pernikahan ini masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja
guna memperjelas keturunan.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam
Malik tentang seorang laki-laki
tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya?
Jawabnya : keduanya harus diceraikan
dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya, tetapi istrinya berhak atas
maharnya yang telah diterimanya,
sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.
Menurut ajaran Islam, nikah tidak
boleh secara sembunyi-sembunyi,
tetapi harus dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga. Bahkan
beliau menganjurkan agar melaksanakan
walimah walaupun hanya seekor kambing.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist :
Artinya :“Telah meriwayatkan kepada
kami Ahmad bin Abdah, telah
meriwayatkan kepada kami Hammad bin Zaid, telah
meriwayatkan kepada kami Tsabit bin Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata : Sesungguhnya Nabi
saw melihat ‘Abdurrahman bin Auf
membawa benda kekuning-kuningan, lalu
nabi bertanya : ada apa gerangan ? kenapa kamu
melakukan ini ?” Lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang
perempuan dengan maskawin sekeping emas” Lalu rasulullah saw bersabda : “Semoga Allah SWT.
Memberikan berkah kepadamu dan adakah walimah
walau dengan menyembelih hewan
kambng”. (HR. Ibnu Majah).
Dasar lain
yang mengharuskan adanya
persyaratan I’lan (aqad
pernikahan harus diumumkan), yaitu hadist Nabi
:
Artinya :“Telah kami meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Mani’, telah meriwayatkan kepada kami Husyaim,
telah memberitahukan kepada kami Abu Baljin, dari Muhammad bin Hathib
Al-Jumahiy, berkata : Rasulullah
saw, bersabda, “Sesungguhnya pembeda antara
halal (pernikahan) dan haram (perzinahan) adalah
permainan rebana dan nyanyi-
nyanyian dalam pernikahan. (HR. At-Tirmizi)
Hadist tersebut dapat diketahui bahwa
unsur yang menjadi pembatas boleh
atau tidaknya pernikahan adalah ada atau tidaknya unsure merahasiakan maka tergolong kelompok pernikahan yang tidak boleh
(haram), maka agar pernikahan
tersebut sah harus diumumkan kepada khalayak ramai (i’lan). Pengumuman tersebut berguna
untuk menghindari akan tuduhan orang
lain atau keraguan orang lain.
Hikmah yang dapat kita peroleh dari publikasi nikah itu adalah agar
terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan, sekaligus menutup adanya
kemungkinan yang besangkutan (khususnya istri)
diminati oleh orang lain.
Dari pembahasan diatas tampak, bahwa
pada prinsipnya Imam Syafi’I, Imam
Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Hanya saja Imam Malik terlihat lebih
menekankan fungsi saksi, yakni
sebagai sarana pengumuman dari pada hanya
sekedar hadirnya pada waktu
akad nikah.
Dalam masalah saksi yang dipesan
untuk merahasiakan, juga terdapat
perbedaan pendapat : Jumhur Ulama membolehkan pernikahan tersebut, asalkan saksi itu hadir pada saat ijab dan qabul berlangsung.
Akan tetapi, Ulama Mazhab Maliki
mengatakan bahwa pernikahan tersebut
batal, karena menurut Maliki fungsi saksi adalah sebagai I’lan yaitu pengumuman nikah. Karena itu kehadiran saksi pada waktu ijab dan qabul
tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan saja. Oleh karena itu, saksi tersebut boleh hadir ketika ijab dan qabul
berlangsung atau sesudahnya, dan sebelum terjadi
ad-dukhul (pergaulan suami istri). Agar pernikahan tidak menimbulkan fitnah maka sebaiknya diumumkan kepada
orang lain.
Akad
pernikahan adalah suatu batas dimana
hubungan seorang laki- laki dengan seorang perempuan yang
semula haram menjadi halal. Demikian
juga akad pernikahan merupakan ikatan baru yang menambah ikatan-ikatan dalam masyarakat. karena itu
akad pernikahan akan lebih sempurna jika tidak hanya disaksikan oleh dua orang,
melainkan juga oleh masyarakat luas.
2.
Nikah Sirri Menurut
Undang-Undang Perkawinan No. Tahun 1974
Undang-undang di Indonesia yang membahas
tentang perkawinan adalah
undang-undang No. 1 tahun 1974. Yang merupakan
undang-undang yang bersifat nasional (unifikasi). Artinya ada satu undang-undang yang berlaku diseluruh Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal
istilah nikah sirri dan
semacamnya dan tidak
mengatur secara khusus
dalam sebuah peraturan.
Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi pernikahan yang tidak
dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan.
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974
mulai berlaku pada tanggal 2 Januari
1974, dan pelaksanaanya secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 oktober
1975 (pasal 67 UUP No. 1 /74 jo pasal
49 PP No. 9 /75).
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, sah
tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta
penjelasannya itu Prof. Hazairin,
S.H menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku menurut UU No. 1 / 1974 pertama-tama adalah hukum
masing-masing agama dan kepercayaan
bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar agamanya
sendiri.
Pihak yang melangsungkan pernikahan harus
tunduk dan telah memenuhi berbagai
ketentuan serta persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Maka dengan sendirinya perkawinan yang dilaksanakan
dengan tidak berdasarkan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu adalah tidak sah.
Dilihat dari segi teori hukum yang
menyatakan bahwa perbuatan hukum
adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum sehingga dapat
menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suau tindakan yang dilakukan tidak menurut
aturan hukum tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum Dan karenanya sama sekali belum
mempunyai akibat yang diakui dan
dilindungi oleh hukum.
Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum
yang secara otomatis melahirkan
akibat akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat (2) menegaskan : “Tiap-tiap pekawinan
harus dicatatkan menurut
Undang-undang yang berlaku”.
Rumusan tersebut menegaskan bahwa dalam
memenuhi jaminan kepastian hukum,
perkawinan harus dicatat sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku guna memenuhi persyaratan administrative
Dalam Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaanya ditetapkan bahwa suatu
perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah
dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Selain ketentuan tersebut diatas perkawinan
pun memiliki syarat- syarat materil
maupun formil yang harus
dilaksanakan oleh warga Negara di
Indoesia yang ingin melaksanakan pernikahan.
Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
calon mempelai ; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi
sebelum pada saat dilangsungkannya
pernikahan.
a. Syarat-syarat materil, diantaranya
:
1) pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.
2) pasal 7 ayat (2) ; usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun.
3) pasal 9 ; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
4) pasal 11 UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 ; mengenai
waktu tunggu bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya, yaitu :
a)
130 hari, bila perkawinan putus
karena kematian
b)
3 kali suci atau minimal 90
hari, bila putus karena perceraian dan ia
masih berdatang bulan
c)
90 hari, bila putus karena
perceraian, tapi tidak berdatang bulan
Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil
d)
Tidak ada waktu tunggu, bila
belum pernah terjadi hubungan kelamin
e)
Perhitungan waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap baku suatu perceraian, dan sejak hari kematian
bila perkawinan putus karena
kematian.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan untuk
melangsungkan perkawinan dan berakibat
batalnya suatu perkawinan.
b. Syarat-syarat formil meliputi :
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan
2) Pengumuman oleh pegawai pencatat
perkawinan
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya masing-masing
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Pengumuman dalam pernikahan wajib
dilakukan, baik kepada sahabat maupun
anggota keluarga lainnya. Caranya dapat dilakukan menurut kehendak yang bersangkutan. Dalam hukum
positif, pengumuman tentang
pemberitahuan hendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah apabila ia telah meneliti apakah syarat-syarat pernikahan sudah dipenuhi
dan apakah tidak terdapat
halangan pernikahan.
Dari uraian tersebut, jika mengacu
pada hukum islam, pernikahan siri
boleh saja dilakukan jika pernikahannya menghadirkan wali dan saksi walaupun setelah akad tidak diumumkan kepada
masyarakat umum, tetapi apabila dihubungkan dengan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pernikahan sirri belum memperoleh
pengakuan dan perlindungan hukum
berupa akta nikah, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang perkawinan diantaranya
tidak adanya unsur tatacara
pencatatan nikah.
D. Macam-macam Nikah sirri
Dalam kehidupan masyarakat kita, ada praktek nikah siri, namun
sekaligus ada banyak polemik tentang pernikahan seperti itu.
Secara sederhana, pengertian nikah siri adalah nikah yang
disembunyikan atau dirahasiakan. Dalam prakteknya, pernikahan siri memiliki
tiga bentuk.
Pertama,
disebut siri karena pernikahan tersebut dilaksanakan tanpa persetujuan wali
(ayah) dari pihak perempuan. Pernikahan dilakukan secara rahasia (siri) karena
pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena meyakini bahwa pernikahan tanpa
wali sudah sah secara hukum fikih, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan syariat agama tentang wali.
Kedua,
disebut siri karena pernikahan tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan resmi
Negara, dalam hal ini KUA. Ada berbagai alasan yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya di KUA. Sebagian karena faktor biaya, ini misalnya
pada kelompok masyarakat yang memang teramat sangat miskin. Sebagian karena
takut ketahuan melanggar aturan di instansi tertentu yang melarang seseorang
menikah pada masa pendidikan atau masa prajabatan. Sebagian karena kemendesakan
waktu dan keadaan, dimana kedua belah pihak ingin segera menghalalkan hubungan,
namun belum memungkinkan mengurus administrasi pernikahan secara legal formal.
Sebagian karena pertimbangan kepraktisan, mengingat prosedur yang tidak
sederhana untuk mengurus legal formal poligami, dan lain sebagainya.
Ketiga,
disebut siri karena pernikahannya dirahasiakan dari publik disebabkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya karena menghindari stigma negatif
dari masyarakat yang menganggap tabu menikah dengan mantan ‘perempuan nakal’,
padahal ia sudah bertaubat, atau karena menghindari gosip yang tidak perlu
karena pernikahan poligami, atau karena pertimbangan rumit lainnya yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
BAB III
LETAK GEOGRAFIS OBJEK PENELITIAN
A. Letak Geografis Wilayah tebet Jakarta selatan
1. Batas wilayah
Di sebelah
timur, Kecamatan Tebet dibatasi oleh Sungai Ciliwung, mulai dari Pintu Air
Manggarai di sebelah utara hingga jembatan Ciliwung di Jalan Letjen Haryono MT
di selatan. Sungai ini memisahkan Kecamatan Tebet dengan Kecamatan Matraman dan
Kecamatan Jatinegara, kedua-duanya termasuk Wilayah Kota Jakarta Timur.
Di sebelah
selatan, Kecamatan Tebet dibatasi oleh Jalan Letjen Haryono MT dan Jalan
Jenderal Gatot Subroto hingga sebuah sungai kecil (Cideng) yang di mengalir di
sisi Jalan Dukuh Patra (tepat ke arah timur dari K-Link Tower). Sepanjang sisi
selatan ini, Kecamatan Tebet berbatasan dengan Kecamatan Pancoran yang juga
termasuk Wilayah Kota Jakarta Selatan.
Di sebelah
barat, Kali Cideng, Jalan Menteng Pulo, dan Jalan Dr Saharjo menjadi batas
wilayah dengan Kecamatan Setiabudi hingga kembali ke Pintu Air Manggarai.
Dengan demikian, Stasiun Kereta Api Manggarai masuk ke dalam wilayah Kecamatan
Tebet, tetapi Terminal Bis Manggarai berada di wilayah Kecamatan Setiabudi,
Wilayah Jakarta Selatan.
2. Sejarah permukiman
Berdasarkan
sebuah peta terbitan abad 19 M, daerah Manggarai dan Kampung Melayu sudah
menjadi permukiman di tepi kota Batavia. Sudah ada jalan dari pusat kota melalui
Manggarai ke Depok, dan jalan dari Mester lewat Kampung Melayu terus ke jalan
antara Tanah Abang dan Pasar Minggu. Ketika stasiun kereta api Manggarai sudah
difungsikan, Manggarai sudah menjadi permukiman yang tertata rapi. Maka bisa
dianggap daerah terbangun pertama di daerah yang nantinya menjadi Kecamatan
Tebet adalah daerah yang sekarang termasuk dalam Kelurahan Manggarai dan
Kelurahan Bukit Duri. Peta topografi terbitan Dinas Topografi Angkatan Darat
Amerika Serikat sekitar tahun 1945 menunjukkan bahwa daerah-daerah lainnya di
wilayah bakal kecamatan ini masih berupa perkampungan dan persawahan.
Untuk
menyiapkan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade, maka
pada tahun 1960 pemerintah menyiapkan pembangunan
Gedung Olahraga dan Perkampungan Atlit di daerah Senayan. Waktu itulah penduduk daerah Senayan
dipindahkan ke daerah Tebet.
Sebagai tempat
pemukiman baru Tebet direncanakan dengan baik dan
dibagi-bagi atas banyak kavling, taman, fasilitas umum, jalan raya dan jalan
pemukiman dan fasilitas penunjang lainnya. Walaupun pada waktu itu tidak banyak
orang luar Tebet yang mau tinggal disitu karena jauh
dari pusat keramaian kota Jakarta, tetapi sekarang Tebet merupakan daerah yang sangat diminati
baik untuk tempat tinggal, tempat usaha, sekolah dan lain-lain. Di Tebet
terdapat 3 stasiun Kereta Listrik (KRL), yaitu Stasiun Kereta Manggarai, Tebet, dan Cawang.
Salah satu
taman di kecamatan ini adalah Taman Tebet yang terletak antara jalan Tebet Timur Raya dan jalan
Tebet Barat Raya. Taman ini dikelola oleh Dinas Pertamanan DKI sebagai tempat pembibitan tanaman
(nursery). Lokasi ini juga merupakan area jogging, senam, rekreasi, pedagang
tanaman hias dan lain-lain.
3. Pendidikan
Daftar SMA dan SMK di Kecamatan Tebet,
yakni:
SMA Negeri 8 Bukit Duri
SMA Negeri 26 Tebet Barat
SMA Negeri 37 Kebon Baru
SMK Negeri 32 Tebet Barat
SMA Muhammadiyah 5 Tebet
SMK Muhammadiyah 7 Tebet
MA Muhammadiyah Tebet
4. Daftar kelurahan
B.
Potret Penyelenggara Penyedia Jasa Pernikah Sirri Kec. Manggarai
selatan tebet Jakarta selatan
Bulan Zulhijah seperti saat ini menjadi
waktu favorit masyarakat untuk melangsungkan pernikahan. Hal itu ditangkap
sebagai peluang oleh beberapa orang. Mereka menggeber penawaran jasa menikahkan
siri secara instan. Maka, bertebaranlah iklan penawaran dari media massa hingga
dunia maya.
Dari observasi yang dilakkan oleh penulis,
para pengiklan jasa nikah instan itu pun terang-terangan menyebutkan bisa
menyiapkan semuanya, termasuk para saksi dan wali. Mereka dan mengklaim
prosesnya sangat mudah dan sesuai dengan syariah atau kaidah agama.
Menemukan jasa pernikahan siri sangatlah
mudah. Coba ketik kata kunci "jasa menikah siri" di situs-situs
pencarian online. Hasilnya, banyak iklan di sejumlah situs maupun forum-forum
dunia maya. Penulis ini setidaknya menemukan enam pengiklan jasa nikah siri
yang berbeda di internet dan mereka bisa dihubungi dengan mudah melalui
telepon.
Salah satu yang gigih beriklan adalah
seorang yang mengatasnamakan Ustad Aulia. Jasa menikahkan siri oleh, Aulia
tidak hanya diiklankan di media online. Dia juga menempelkan sejumlah
pamphlet-pamflet di beberapa tempat di Jakarta.
Dalam iklannya, ustad Aulia (sapaan
akrabnya) itu menuliskan tempat tinggalnya di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
Kalimat-kalimat yang digunakan Aulia dalam menawarkan jasanya sungguh memikat
mereka yang membaca. Aulia menuliskan bahwa proses nikah siri sangat mudah.
Calon mempelai tidak perlu menyediakan
dokumen apa pun, termasuk pasfoto maupun KTP. Aulia mengisyaratkan bahwa calon
mempelai tinggal membuat janji hari dan tanggal pernikahan. Lebih
menggiurkannya, tarif jasa yang dipatok Aulia hanya Rp 2 juta. "Dapat
sertifikat siri pula," begitu iming-imingnya.
penulis mencoba menelusuri bagaimana
Aulia selama ini berpraktik. Awalnya, penulis ini berusaha menghubungi Aulia.
Dari kontak telepon yang di sediakan di pengiklanan-pengiklan yang di
publikasikan olehnya, Aulia kebetulan bisa ditemui sore di tempat praktiknya di
Jalan Berkah, Tebet, Jakarta Selatan.
Upaya menemukan tempat praktik Aulia
sangat mudah. Apalagi, saat berkomunikasi melalui sambungan telepon, Aulia
sudah memberikan arahan yang cukup jelas. Tempat praktiknya berada persis di
samping masjid yang cukup besar di Jalan Berkah.
Tempat praktik Aulia itu berkedok sebuah
yayasan bernama Al Hikmah International Center. Salah satu aktivitasnya adalah
membantu memberikan konsultasi agama. Tidak banyak hal soal jasa pernikahan
siri yang terpampang di tempat praktik Aulia. Yang banyak justru piagam
penghargaan dan kliping penulis yang dipigura di dinding.
Begitu mendatangi tempat praktik, seorang
perempuan menemui penulis. Lantaran mengaku sudah janjian, perempuan itu pun
kemudian masuk dan menyampaikan pesan kepada Aulia. Tak lama kemudian, penulis
ini dipersilakan masuk ke ruang tengah dan di situ sudah ada Aulia.
Ruang tengah itulah yang biasa digunakan
Aulia untuk menikahkan orang secara siri. Pada kedatangan sore itu, penulis ini
meminta izin dan menyerahkan surat izin wawancara dari kampus untuk melakukan
observasi seputar praktik nikah sirri di kecamatan tebet Jakarta selatan ini
sebagai salah satu syarat kelengkapan penyusunan sekripsi, kemudian di terima
dengan baik dan ust Aulia langsung memaparkan konsep serta semua yang barkaitan
dengan kebutuhan penyusunan sekripsi kami seperti syarat kelengkapan pernikahan siri, serta
bagaimana dan mengapa praktik jasa layanan nikah sirri ini di lakukan.
salah satunya "Kalau calon sudah
siap, ya beri tahu kami waktunya kapan. Kalau bisa, minimal tiga hari sebelum
hari H," ujar Aulia, yang
sore itu berpenampilan layaknya ustad. Menggunakan baju koko, sarung, dan peci
yang semuanya serba putih.
Aulia mengatakan, tidak ada syarat khusus
untuk nikah siri. Bahkan, Aulia tidak perlu mengetahui status calon mempelai
yang akan dinikahkan. "Kalau boleh ya tunjukkan KTP, tapi kalau tidak ya
tidak apa-apa," ungkapnya.
Wali nikah juga bukan syarat utama bagi
Aulia. Menurut dia, jika memungkinkan, wali dari pihak perempuan sebaiknya
dihadirkan. Penulis ini pun beralasan bahwa wali dari pihak perempuan tidak
bisa dihadirkan karena memang tidak merestui hubungan asmara anaknya. Penulis
menanyakan bagaimana jika calon mempelai perempuan akan dinikahi seorang pria
yang sudah beristri.
Mengetahui hal tersebut, Aulia mengatakan
tidak masalah. "Memang ada hadis yang mewajibkan ada wali untuk pihak
perempuan. Tapi, ada hadis lain yang menjelaskan soal wali hakim,"
terangnya. Aulia kemudian mengatakan bahwa pihaknya juga bisa menyiapkan saksi
pernikahan jika memang dari pihak calon mempelai tidak bisa.
Setelah menjelaskan perihal syarat,
pembicaraan Aulia mulai beranjak ke tarif. Dia menyebut tarif yang dipatok
hanya biaya pengganti. Meski hanya biaya pengganti, Aulia mengajukan tarif Rp 2
juta. Menurut dia, uang itu digunakan untuk wali nikah dan para saksi. Tarif
itu pun fix dan tidak bisa ditawar lagi.
"Kalau bisa, ditransfer dulu
beberapa hari sebelum hari H. Sebab, perlu saya siapkan dulu untuk wali nikah
dan para saksinya," ujarnya. Dari biaya itu, Aulia mengaku nanti juga
memberikan sertifikat sebagai bukti bahwa si perempuan dan laki-laki telah
menikah siri.
Penulis ini sempat meminta contoh
sertifikat kepada Aulia. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan alasan
kerahasiaan pengantinnya. "Ya pokoknya sertifikat bermeterai yang
menjelaskan telah terjadi pernikahan. Kalau mau, calon pengantin memberikan
pasfotonya untuk saya masukkan dalam sertifikat. Tapi, kalau tidak, ya tak
masalah," paparnya.
Selain Aulia, penulis ini juga
menghubungi seorang pengiklan jasa nikah siri yang bernama Ari Suparli. Pria
itu mengaku berdomisili di Bandung. Di sejumlah iklan di internet, Ari kerap
mencantumkan nama Bu Hanum.
Dalam komunikasi via telepon, Ari memang
mengaku melayani jasa menikahkan siri. Dia juga sanggup melayani order untuk
datang ke Jakarta maupun kota di luar Bandung lainnya. Untuk tarif jasa menikahkan
seseorang di Jakarta, tarif yang diajukan Ari lebih mahal daripada yang diminta
Aulia. Ari mematok tarif Rp 2,5 juta.
"Itu sudah termasuk biaya wali hakim
dan saksi-saksi," ungkapnya. Ari mengaku siap menikahkan di mana pun
sesuai keinginan calon mempelai. "Di masjid boleh, di apartemen atau hotel
juga bisa," terangnya.
Layanan jasa pernikahan siri lain yang
ditelusuri penulis ini didapat dari iklan yang dipasang seseorang bernama M.
Ali. Pria yang mengaku berdomisili di Jakarta itu lebih selektif menerima order
daripada dua pengiklan lain.
Ali mengaku tidak bisa serta-merta
menerima order jika tidak berkomunikasi atau bertemu dulu dengan kedua calon
mempelai. Karena itu, dia juga tidak mau menyebutkan biaya jasa yang diminta
untuk menikahkan orang secara siri.
"Saya harus tahu status kedua calon
dulu. Nanti kalau memang bisa saya nikahkan, baru kita ngomong soal
tarif," ujarnya. Meski begitu, Ali mengaku siap menerima order dari luar
kota. Dengan dalil menghindari zina, jasa-jasa seperti itu sering
disalahgunakan sejumlah orang.
Grafis Layanan Jasa Nikah
Sirri
One Stop Wedding Service
Nama jasa : Nikah
siri instan
Media promosi : Penulis,
iklan pohon, dan sebagian besar iklan online
Syarat : Fotokopi
KTP dan pasfoto
Waktu : Paling
lama seminggu (7 hari) tuntas
Paket nikah :
1. Sedia penghulu, saksi, dan
wali
2. Tempat dan waktu nikah
terserah mempelai
3. Konsultasi via telepon
Bonus : Sertifikat bermeterai
Tarif :
1. Rp 2 juta (Jakarta)
2. Rp 2,5 juta (luar Jakarta)
Ketentuan :
1. Tarif dibayar di muka
2. Order minimal harus H-3
sebelum tanggal nikah.
C.
Faktor Munculnya Praktik
Jasa Nikah Sirri
Di
zaman yang serba modern, manusia semakin di manjakan dengan kemudahan-kemudahan
untuk mencapai tujuan tertentu, kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat
membuat para pemburu kepuasan dunia semakin terfasilitasi, lebih-lebih dalam
hal kebutuhan biologis seperti seks dan lain sebagainya.
Dengan dalih mengatas namakan
agama meraka tanpa ragu menerobos ketentuan hukum yang telah berlaku di
indonesia tentang pernikahan. Mereka
mendatangi jasa-jasa layanan nikah sirri baik secara online maupun
langsung mendatangi tempat praktik layanan pernikahan sirri. Yang sedang marak
terjadi di Indonesia. Penulis
mengungkapkan faktor penyebab munculnya fenomena layanan jasa nikah
sirri ini tersebut yaitu penyedia layanan jasa nikah sirri dapat meraup uang
jutaan rupiah dengan menyediakan layanan tersebut. Padahal, sesungguhnya
seseorang dapat menjalankan pernikahan tanpa mengeluarkan sepersen pun uang
jika ingin datang langsung dan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Layanan jasa nikah sirri
berorientasi kepada ekonomi/keuntungan, hal Ini karena ada orang yang mau
mencari kemudahan. 'Kan usaha itu bayarannya mahal. Saya dengar bayarnya bisa
Rp2,5 juta. Padahal, kalau di KUA tidak bayar. Kecuali, kepala KUA-nya datang
itu pun hanya bayar Rp600 ribu," kata Ketua MUI, Amidhan Shaberah.[65]
Selain nikah siri marak terjadi karena niatan seseorang memiliki istri lebih
dari satu atau menikah lagi, tapi tidak mendapatkan persetujuan dari istri terdahulunya.
Banyak orang yang memanfaatkan
tren sosial budaya (pernikahan) sebagai peluang bisnis. Banyak orang kaya baru
yang cenderung hidup boros dan foya-foya dengan nikah siri. Banyak perempuan
yang karena alasan ekonomi mau jadi isteri-isteri siri. Tidak ada ikatan cinta
kasih. Tujuannya semata karena materi.
D.
Dampak Positif Dan Negatif
Pernikah Siri
Sebagian
besar nikah siri dianggap hal yang tabu, yang mempunyai lebih banyak
mudharatnya (negatif) daripada manfaatnya (positif). Sebelum memaparkan tentang
sisi negatif dari nikah siri, berikut akan diterangkan terlebih dahulu tentang
dampak positifnya:
1.
Meminimalisasi adanya sex bebas
sehingga juga akan mencegah perkembangnya penyakit AIDS, HIV serta penyakit
kelamin yang lain.
2.
Mengurangi Beban atau Tanggung
jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
3.
Menghemat biaya terutama bagi
yang tidak mampu untuk membayar biaya administrasi untuk mendaftarkan
pernikahannya ke KUA (Kantor Urusan Negara) agar diakui oleh negara.
Berikut beberapa mudharat/sisi negatif dari nikah siri, dampak ini
lebih condong kepada wanita:
1.
Akan ada banyak kasus poligami
yang akan terjadi.
2.
Tidak adanya kejelasan status
istri di mata hukum negara maupun di mata masyarakat.
3.
Pelecehan seksual terhadap
wanita karena wanita dianggap sebagai pelampiasan nafsu bagi laki-laki.
4.
Istri tidak dapat menuntut
suami untuk memberikan nafkah lahir batin.
5.
Status anak dari nikah siri
tidak tercatat oleh negara, jadi status
anak dikatakan di luar nikah. Akibatnya anak tidak bisa sekolah karena tidak
punya akta kelahiran Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta
kelahiran. Namun secara agama hal status anak dari hasil nikah siri mendapat
hak sama dengan anak hasil perkawinan sah.
6.
Dalam hal pewarisan, anak-anak
yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan
sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang
adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri
siri dengan suaminya tersebut.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP FENOMENA BISNIS JASA NIKAH SIRRI MASYARAKAT
JAKARTA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
A.
Fenomena Praktik Jasa Nikah
Sirri Masyarakat Jakarta
Fenomena
layanan jasa pernikahan sirri baik secara
online maupun melalui berbagai jasa yang bisa didatangi langsung oleh
masyarakat yang akan melakukan pernikahan secara sirri, pada tempat-tempat yang
memang di buka khusus untuk memfasilitasi para pelaku nikah sirri yang salah
satunya adalah di kecamatan tebet Jakarta selatan ini cukup marak dan di gemari oleh berbagi elemen
masyarakat baik pejabat maupun masyarakat biasa, namun dalam hal ini banyak
para pelanggan pelaku pernikahan sirri yang sebagian besar adalah masyarakat
kelas menengah kebawah.
dalam
beberapa hari terakhir. Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam
bergerak cepat. Sedikitnya 45 situs online yang membuka layanan nikah sirri
dilaporkan ke Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo untuk diblokir
atau ditutup.
Dalam
surat laporan tertanggal 18 Maret lalu, Dirjen Bimas Islam Machasin menjelaskan
bhawa praktik nikah sirri tidak sejalan dengan prinsip perkawinan sebagaimana
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.
UU
ini mengatur bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip lain yang
diatur dalam UU tersebut adalah bahwa perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan, Pasal 2 ayat (2), “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan”.
Ditambahkan
Machasin bahwa PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 10 ayat (3) juga mengatur bahwa dengan
mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh 2 orang saksi.
Praktik
pernikahan sirri tidak memberikan nilai edukasi dalam pembentukan keluarga
sakinah sebagaimana yang diprogramkan pemerintah.
Adapun
situs online serta alamat Jasa Layanan Nikah Sirri yang dapat di datangi
langsung pada alamat yang di publikasikan pada media sosial, pamphlet-pamflet
atau pengiklanan yang tertera. Sebagai berikut :
B. Perspektif Hukum Islam dalam
Memahami Praktik Jasa pernikahan Sirri
Masyarakat Jakarta
Pada beberapa waktu terahir kita begitu gampang
dan mudah menemukan layanan jasa nikah sirri, baik secara online maupun di
beberapa tempat di jakarta khususnya, yang memampang iklan tentang penawaran
jasa pernikahan sirri baik melalui media sosial, pamflet-pamflet dan lain
sebagainya.
Diantara tulisan atau pengiklanan yang berhasil
penulis kutip yang di sajikan melalui berbagai bentuk penawaran adalah sebagai
berikut
“Kami menyediakan jasa
penghulu nikah siri di Jakarta.
Lengkap dengan para saksi
dan wali nikah (jika membutuhkan wali).
Proses mudah (tidak perlu
menyediakan foto, fotokopi KTP, dokumentasi, dll). Cukup membuat janji dengan
kami, ingin menikah hari apa, tanggal berapa. Insya Allah, kami siap.
Biaya terjangkau, Rp 2 juta
(harga sewaktu-waktu bisa berubah).
Dapat "Sertifikat
Menikah Siri."
Rahasia terjamin, insya
Allah.
Alamat: Jln Dr Saharjo gang
xxxxxxxx (alamat lengkap sengaja penulis sembunyikan) Jaksel.
Jelas sekali iklan layanan tersebut adalah menawarkan
jasa penghulu nikah di bawah tangan.
Lebih jauh penulis menelusuri salah satu alamat yang telah disediakan,
melalui observasi, dan memang terbukti.
Sebagai contoh kasus penulis mempertanyakan tentang “apabila ada seorang laki-laki membutuhkan
jasa beliau karena ingin menikah dengan seorang perempuan akan tetapi tidak
mendapat restu dari kedua orang tua perempuan tersebut.” Lalu dengan sangat
meyakinkan, sang ustadz menjawab: “Tidak mengapa, mas. Tidak perlu memakai wali kalau
memang tidak direstui, menikah dengan bantuan kami bisa. Caranya itu ialah
‘intiqol madzhab’, pindah madzhab ke Malikiyah dan Hanafiyah, karena mereka
membolehkan menikah tanpa wali. Tapi kami tidak mengurusi
surat menyurat ke KUA, kami hanya memberikan sertifikat nikah sirri dari kami.
Tapi kalau memang mau, kami bisa mrngurusi itu semua, asal fee-nya nambah
menjadi Rp. x.000.000,-“
Setelah sebelumnya mencari keterangan lebih jauh
melalui beberapa situs di internet (googling),
ternyata jasa-jasa semacam ini banyak sekali bertebaran di penjuru kota
se-Indonesia. Jadi memang klinik-klinik yang melakukan “mal praktek” nikah
dengan tenaga dokter amatir ini sudah banyak dikenal oleh orang-orang.
Menurut penulis, ini hanya sebuah
legalisasi kawin lari secara agama saja, yang sejak dari dahulu kala memang
sudah dinilai negatif oleh kebanyakan orang Indonesia karena jauh dari adab.
Dan ustadz kawin sirri ini, memanfaatkan kegamangan masyarakat akan awamnya
dengan syariah, dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dengan menjual
label agama.
Kemudian yang jadi pertanyaan terkait
masalah ini ialah: “Bagaimana Kedudukan wali perempuan dalam
pernikahan. ?” Apakah menjadi rukun atau tidak ?”
1. Posisi Wali Dalam Pernikahan
Keberadaan wali nikah yang menjadi syarat sahnya
pernikahan memang masih berada pada willayah perbedaan pendapat antara ulama
fiqih lintas madzhab. Setidaknya ada 3 pendapat masyhur di kalangan para ahli
fiqih dalam masalah ini:
a.
Wali adalah
syarat sah sebuah pernikahan, artinya sebuah pernikahan tidak sah dalam
pandangan syariah jika tanpa wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama;
diantaranya madzhab Syafi’i, Hanbali dan salah satu riwayat masyhur Imam Malik.
b.
Wali
bukanlah syarat sah pernikahan. Pernikahan secara syariah, hukumnya sah walau
tanpa wali. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, namun 2 sahabat beliau; Muhammaddan
Abu Yusuf memandang berbeda.
c.
Dibedakan
antara perawan dan janda. Kalau perawan, wali adalah syarat sah pernikahan,
akan tetapi kalau dia janda maka wali bukanlah syarat sah pernikahan itu. Ini
pendapatnya Imam Abu Daud Al-Zohiri.
Sejatinya, dalam turots fiqih ada satu lagi
pendapat dalam masalah ini, yaitu pendapat Imam Malik dari riwayat Ibn Al-Qasim
yang mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak Syarifah (mulia) atau dari kalangan biasa yang tidak
terpandang, boleh menikah dengan tanpa wali.
Jadi dalam pandangan
Imam Malik yang satu ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd, wali
merupakan syarat pelengkap saja dan bukan syarat sah pernikahan. Adanya itu
baik, tapi tidak adanya juga tidak menjadi masalah.
Ikut Pendapat Yang Mana?
Memang tidak ada
ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat
atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah seperti ini, kita
dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan
keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati
dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru.
Dalam masalah ini memang
pendapat Imam Abu Hanifah terkesan pendapat yang ringan bahkan memudahkan untuk
tidak kita katakan menggampangkan. Karena memang tidak mengharuskan wali bagi
siapa saja yang ingin menikah. Berbeda dengan pendapat Jumhur yang mensyaratkan
wali nikah sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan.
Dan memang inilah yang
sering dijadikan tameng oleh beberapa kalangan untuk melangsungkan pernikahan
dengan tanpa wali si wanita. Mereka berdalih bahwa ada pendapat madzhab fiqih
yang membolehkan itu. Terkesan menggampangkan syariah walaupun tidak salah
juga.
Tatabbu’ Al-Rukhos (Memilih Yang
Ringan)
Lalu yang jadi pertanyaan apakah boleh mengambil
pendapat yang lebih mudah dan ringan dalam masalah khilafiyah seperti ini, yang
disebut dengan Tatabbu’
Al-Rukhos(تتبع الرخص )? Atau kah diharuskan
mengambil yang lebih sulit sebagai kehati-hatian?
Ulama memang ada yang membolehkan mengambil
pendapat yang lebih mudah saja untuk diamalkan dibanding pendapat ulama yang
terkesan berat dan sulit. Dengan alasan bahwa memang tidak ada larangan dalam
syariah ini untuk beribadah sesuai dengan pendapat ulama yang memudahkan.
Dan sunnah Nabi Muhammad saw baik itu perkataan
ataupun perbuatan menunjukkan kebolehan untuk mengambil pendapat yang
memudahkan sebagai landasan beribadah. Nabi dalam sebuah riwayat dikatakan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا إِلَّا أَنْ
يَكُونَ فِيهِ إِثْمٌ فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Dari ‘Aisyah ra,
beliau berkata bahwa Nabi tidak diberikan 2 pilihan kecuali ia memilih yang
paling mudah kecuali jika itu dosa. Kalau itu dosa ia adalah orang yang paling
menjauhinya” (HR Ahmad).
Imam Al-Qorofi dari kalangan Malikiyah
mengatakan secara tegas kebolehan bagi seseorang untuk beribadah dengan
landasan pendapat ulama yang memang meringankannya. Tapi kemudian beliau
memberikan syarat bahwa keputusannya mengambil pendapat yang ringan tersebut
tidak membuatnya mengerjakan suatu amalan yang batil dan juga tidak sampai
kepada prkatek Talfiq.
Talfiq ialah praktek mengambil beberapa pendapat ulama
mujtahid dalam satu urusan amal, lalu mencampurnya sehingga melahirkan pendapat
baru.
Seperti dalam masalah wudhu. Seseorang mengambil
pendapatnya imam syafi’i yang tidak mewajibkan mengusap seluruh bagian kepala.
Akan tetapi ia mengambil pendapat imam Ahmad bin Hanbal yang tidak membatalkan
wudhu jika bersentuhan dengan lawan jenis, yang sejatinya wudhunya itu batal
menurut madzhab Syafiiyah.
Jadi yang terjadi itu justru ia membuat praktek
wudhu versi baru yang belum pernah ada imam Mujtahid mengatakan demikian. Ia
justru membuat madzhab baru akhirnya. Intinya memang talfiq itu membuat madzhab
sendiri tanpa dasar yang jelas, hanya catut sini catut sana.
Dan apa yang dilakukan oleh ustadz kawin sirri
itu (baca: kawin lari) ya seperti itu, hanya mengambil yang menguntungkan saja.
Catut sana catut sini, yang penting usahanya laku. Na’udzubillah
Memilih Yang Berat
Namun ada juga pendapat ulama yang memang sangat
keras dan mengharamkan mengikuti pendapat yang mudah dan terkesan
menggampangkan. Ulama ini mewajibkan mengambil pendapat yang memang berat dan
kuat. Dan ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal dan juga beberapa ulama
dari kalangan Malikiyah.
Menurut pendapat ini, mengambil pendapat yang
ringan dalam beribadah itu lebih condong dan lebih dekat kepada keinginan hawa
nafsu yang memang selalu menginginkan keringanan dalam beribadah.
Padahal ketika terjadi perselihan pendapat, yang
diperintahkna kepada kita ialah kembali kepada Allah swt dan Rasul saw. Bukan
malah mengikuti hawa nafsu.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”.
(An-Nisa’ 59)
Dorongan hawa nafsu sangat kental menjadi latar
belakang alasan kenapa seorang muslim mengambil pendapat yang meringankannya,
dan enggan mengambil ketetapan yang berat. Dan syariat dengan sangat jelas
melarang ummatnya mengikuti hawa nafsu.
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه
“janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Shaad 26).
Dan akhirnya, dengan terus mengikuti hawa nafsu
akan timbul penyepelan terhadap syariah. Dengan ia terus menerus mencari-cari
mana pendapat yang sekiranya menguntungkan bagi dia dan kelompoknya. Iman dalam
diri sudah tidak menjadi dasar dan dorongan lagi dalam beribadah, akan tetapi
nafsu dan kepentingan sepihak.
Imam Al-Ghozali mengatakan:
وَلَيْسَ لِلْعَامِّيِّ أَنْ يَنْتَقِيَ مِنْ الْمَذَاهِبِ فِي كُلِّ
مَسْأَلَةٍ أَطْيَبَهَا عِنْدَهُ فَيَتَوَسَّعَ
“Seorang awaam (yang tidak mampu berijtihad)
tidak diperkenankan baginya menyeleksi pendapat madzhab yang paling
menguntungka buatnya, (khawatir) ia bisa melampaui batas (memudahkan)”
Pendapat ini juga didasari oleh faham
kehati-hatian dalam beribadah. Bagaimanapun, ibadah adalah kerat kaitannya
dengan perkara halal dan haram yang bisa menjerumuskan seseorang kedalam dosa.
Perkara yang berat seperti ini hendaknya tidak digampangkan atau
dimudah-mudahkan.
Pendapat Imam Syathibi
Dalam kitabnya Al-Muwafaqat, Imam Syathibi menjelaskna bahwa yang harus
dilakukan oleh seorang penanya jika mendapatkan pendapat yang berbeda dari para
mujtahid ialah mencari pendapat mana yang lebih unggul.
Tidak langsung memilih mana yang lebih mudah
untuknya. Tapi menimbang dulu mana yang kuat, dilihat dari dalil dan bagaimana
para mujtahid itu berIstidlal. Karena
menurut beliau perbedaan pendapat untuk seorang awwam itu bagaikan dalil-dalil
yang saling berselisih untuk seorang Mujtahid. Dan pada saat itu seorang
mujtahid diharuskan mencari dalil mana yang lebih kuat, begitu juga seorang
muslim jika dihadapkan kepada perbedaan pendapat.
Pendapat Imam syathibi di sini sepertinya
menjadi pendapat penengah antara 2 pendapat di atas. Akan tetapi pendapat
beliau di sini tidak bisa diemplementasikan kepada seluruh orang, itu hanya
cocok bagi mereka yang memang bisa melakukan itu, yaitu memverifikasi pendapat
mana yangs sekiranya kuat.
Padahal di kalangan sana banyak sekali
orang awwan yang sama
sekali tidak tahu harus memilih yang mana. Kalau dia diperintah untuk
menyeleksi pendapat mana yang sekiranya kuat sudah pasti menyulitkan.
Sepertinya memang pendapat Imam Syathibi ini hanya
cocok bagi para penuntut ilmu syar’i, yang mana mereka mengerti dalil dan istidlalnya namun tidak sampai
derajat mujtahid.
Memilih Pendapat Mayoritas (Hukum Negara)
Yang paling baik menurut penulis dalam hal ini
ialah mengikuti pendapat yang banyak dipegang oleh lingkungan sekitar, yaitu
suara mayoritas (Majority Voice). Sebenarnya bukan hanya pada masalah nikah ini
saja, akan tetapi dalam segala hal memang baiknya seseorang tidak menampakkan
perbedaan sendiri ditengah keseragaman khalayak.
Kalau memang tinggal pada lingkungan Hanbali, ya
mengikuti pendapat Madzhab Hanbali jauh lebih baik dari pada yang lain. Begitu
juga jika memang tinggal di lingkungan Malikiyah, sungguh sangat tidak beradab
jika kita malah menampakkan keengganan kita untuk mengikuti pendapat Malikiyah.
Kita di Indonesia ini yang memang terkenal
dengan menjamurnya madzhab Syafi’i, ya tentu jauh lebih baik bahkan memang
sangat baik untuk kita mengikuti pendapat-pendapat ulama syafiiyah. Dibanding
harus tetap kukuh dengan ulama yang tidak bermadzhab.
Karena bagaimanapun menampakkan perbedaan
ditengah keseragaman khalayak ialah sesuatu yang sangat tidak terpuji, dan
sudah pasti akan menimbulkan gesekan antara masyarakat.
Dan hukum mayoritas dalam hal perkawinan di
Indonesia ini sudah tertuang dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi
pegangan seluruh Hakim Agama di sejagad indonesia ini. Sudah pasti tidak akan
berbeda.
Dan posisi wali nikah dalam KHI ialah sama
seperti pendapat jumhur yang menempatkan seorang wali nikah sebagai rukun nikah
yang keberadaannya tidak boleh tidak ada. Ini tertuang dalam pasal 19 – pasal
24 dalam Kompilasi tersebut.
Kemaslahatan
Satu lagi yang sering dijadikan dasar hukum oleh
para ulama ialah Al-Istishlah [الاستصلاح] atau biasa yang disebut dengan kemaslahatan.
Negara ini sudah menentukan bahwa menikah tidak sah kecuali dengan wali. Dan
aturan ini dibentuk tentu bukan sekedar asal bentuk, akan tetapi dengan
perhitungan yang matang setelah meninjau berbagai aspek, baik itu aspek syariah
maupun aspek sosial.
Menjadikan wali nikah sebagai rukun, selain
mengikuti pendapat jumhur ulama, ini juga mempunyai dampak positif yang besar
terhadap keberlangsungan hidup sosial antara warga. Dan justru meninggalkan
ini, yakni mengambil keputusan bolehnya menikah tanpa wali akan menghasilkan
dampak yang buruk bagi masyarakat.
Coba bayangkan seandainya seluruh warga
diberikan kebebasan untuk menikah tanpa wali si gadis, apa yang akan terjadi?
Kesemrawutan sana sini pasti yang akan terjadi. Mungkin hampir tiap hari kita
akan mendengar seorang ayah kehilangan anak gadisnya karena dibawa kabur oleh
sang pacar yang tidak disetujui oleh si ayah gadis.
Kemudian berapa banyak wanita yang hamil dan
kemudian si ayah tidak mau tanggung jawab? Karena memang tidak ada persetujuan
dengan sang wali dalam akad yang merupakan sebagai perpindahan tanggung jawab
dari si wali kepada sang lelaki.
Kekacauan pasti akan terjadi, dan kekacauan ini
akan terus berlanjut kalau tidak ada tindakan tegas dari penguasa. Untuk
meminimalisir kekacauan itu dan meciptakan maslahat bagi warganya, Negara
membuat aturan itu.
Kemudian pastinya akan muncul lagi masalah
dengan status perwalian kita terhadap anak kita yang dihasilkan dari pernikahan
tanpa surat resmi Negara. Ketentuannya mengatakan bahwa anak nantinya tidak
bisa mendapatkan surat keterangan lahir (AKTA Lahir) kalau kedua orang tuanya
tidak punya surat resmi menikah dari Negara.
Bukan hanya itu, ujung-ujungnya akan terjadi
kakacauan hukum dan status untuk si anak. Kepada siapa Negara akan memberikan
perwaliannya sebagai penanggung jawab penuh atas pendidikan, sandang serta
pangan anak tersebut.
Dan sudah pasti dia pun tidak mendapat jatah
waris jika harta orang tuanya diserahkan kepada pengadilan ketika wafat. Karena
pengadilan akan memberika waris kepada anak yang sah, dan keabsahan seorang
anak itu tidak bisa dibuktikan kecuali dengan surat-surat resmi Negara yang
berawal semuanya dari surat resmi menikah KUA.
Jadi sejatinya memang tidak ada alasan untuk
tidak mengikuti jumhur, karena memang Negara mewajibkan itu.
Wallahu A’lam
[1] Bidayatul-Mujtahid
376, Al-Majmu’ 16/146, Al-Mughni 7/337
[2] Bada’i Al-Shona’i
2/247
[4] Al-Fiqh Al-Islami
wa Adillatuhu 1/85
[5] Al-Madkhol ila
Madzhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal 206
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa,
2005),27.
Hasil
pemantauan nikah sirri di wilayah kerja KUA Kecamatan tebet jakarta selatan.
Pujiyati, “Aspek Hukum Nikah Sirri,” Skripsi tidak diterbitkan Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (2002).
Farhatul Aini, ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nikah Sirri dan Dampaknya Pada
Masyarakat di Desa Pakong Kabupaten Pamekasan,” Skripsi tidak diterbitkan
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga (2009).
“Harian
Serambi Indonesia dengan IDLO (International Development Law Organization
Organisation
InternationaleeDroltduDeveloppement).www.Idlo.int/bandaacehawarenwss.HTML”,http://syahfekran.blogspot.com/2009/04/nikah-siri.html,
akses tanggal 3 April 2015
http://malangraya.web.id/2009/03/07/nikah-siri-tidak-barokah/ akses tanggal 05 Agustus 2015.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
2005), 5.
Lexy J.
Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Cetakan Ke-4, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 7.
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), 19.
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh, (Semarang: Toha Putra, 1982), 21.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), 2.
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu, 2000), 30.
Ramulya idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h.
1
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,
(Ja karta, Ind. Hill Co, 1985), Cet-4, 147.
Wirjono Projodikoro. Hukum Perkawinan di Indonesia, 9.
Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shohih al-Bukhari, (Semarang, Toha Putra
tt), Juz 6, H. 117
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk). (Bandung : Al-Bayan,1994),
cet. 1, h. 22
Sayid Sabiq, Sabiq,
Sayyid, Fikih Sunnah 6, (Bandung, PT
Alma’arif, 1973), cet. 1, h. 87
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 1996), cet. Ke-1, h. 101
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
al-Syaukani, Nayl al-Authar VI, (Misr
: Mustafa I’Babi I’Halabi wa Auladuh, t.t), h. 256
Abi Isa Muhammad bin Isa Ibn Saurah, Sunan At-Tirmizi, (Beirut : Dar Al-Fikr,
1994), Juz 2, Jilid 3, h. 398
Syamsuddin As-Sarakhsy, Al-Mabsuth, (Libanon : Darulqutub
al-ilmiyah), jilid 5, h. 31
A. Zuhdi Muhdlor, cet. 2, h. 64
Hazairin,
Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974, (Jakarta
: PT Tinta Mas Indonesia, 1986),., h.
6
Soedjono Dirojosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1994), Cet. Ke-4, h. 126